Jakarta, DepokPost.Online-Terkait sengkarut Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) yang sering terjadi Juni-Agustus setiap tahun, Ombudsman mengatakan telah melakukan pengawasan sejak 2020.
“Ombudsman sudah melakukan pengawasan PPDB sebetulnya sudah lama, jika melihat sejarahnya tahun 2017 sistem zonasi PPDB ini diberlakukan antara lain karena kajian Ombudsman juga, dan sejak tahun 2020 kami melakukan pengawasan setiap tahun, dan setiap tahun kami memberikan laporan dan masukan kepada seluruh stakeholder terkait,” kata anggota Ombudsman, Indraza Marzuki Rais, saat memaparkan Hasil Kajian Pengawasan Penyelenggaraan PPDB di gedung Ombudsman, Jakarta, Kamis (12/12/2024).
Dia berharap hasil pengawasan yang dipaparkannya dilihat sebagai masukan dan solusi agar PPDB lebih komprehensif dan detail. Dia juga berharap hasil kajian Ombudsman ini betul-betul dipertimbangkan pemerintah agar masalah PPDB ini tidak menjadi masalah musiman lagi.
“Kami sayangkan selalu PPDB yang hanya muncul Juni-Agustus, sesudah itu kita lupa lagi nanti menjelang ajaran tahun baru akan berulang lagi, dan ada kehebohan lagi. Karena itu kami berharap hasil pengawasan ini bisa memberikan salah satu inside bagi seluruh stakeholder terkait untuk bisa mengevaluasi lebih dalam mengenai pelaksanaan PPDB, sebelum memutuskan apakah harus diubah, dihapus, atau dilanjutkan,” ujarnya.
Temuan Ombudsman soal PPDB
Indraza mengaku, Ombudsman melakukan metode analisis dan pengumpulan data untuk mengetahui masalah PPDB. Pengumpulan data dilakukan pada Maret-Oktober 2024.
Dia menjelaskan, masalah PPDB ditemukan di tiga tahapan PPDB, yakni Pra-PPDB, pelaksanaan PPDB, dan Pasca-PPDB. Semua masalah ditemukan di seleksi zonasi, afirmasi, prestasi, dan perpindahan tugas orang tua.
Zonasi
Indraza mengatakan, sejak 2022 hingga 2024, Ombudsman telah menerima 594 laporan terkait zonasi. Rinciannya, 31 persen terkait penyimpangan prosedur, 18 persen tidak kompeten, dan 13 persen tidak memberikan pelayanan.
“Dan yang menjadi permasalahan sebenarnya masalah jarak, sebetulnya zonasi membagi area berdasarkan calon peserta didik, kita ketahui di daerah kesulitan pindah,” tuturnya.
Adapun masalah zonasi yang ditemukan Ombudsman adalah:
1. Permasalahan jarak 20 persen
2. Verifikasi dokumen 12,2 persen
3. Blankspot 11,9 persen
Pada masalah verifikasi dokumen zonasi, Ombudsman menemukan ada pemalsuan barcode kartu keluarga (KK). Indraza mengatakan masyarakat menilai zonasi itu masalah jarak sehingga banyak yang mengupayakan segala cara agar peserta didik diterima.
“Terkait verifikasi dokumen ini bermasalah karena kami temukan beberapa daerah karena mereka anggap itu jarak dan zona, ada banyak upaya yang dilakukan baik oleh orang tua calon peserta didik dan oknum petugas memalsukan, kami menemukan ada memalsukan barcode kartu keluarga,” imbuhnya.
Kemudian, dalam sistem zonasi ini, ditemukan adanya tidak meratanya sekolah. Indraza menyebutkan pihaknya menemukan blankspot.
“Terkait blankspot ketika membagi area data calon peserta didik maka akan ada daerah yang tidak mendapat zona, jadi zona bisa berubah tergantung calon peserta didik seharusnya. Namun apa yang ditangkap masyarakat zonasi adalah masalah jarak,” jelasnya.
Adapun saran mengenai masalah zonasi, Ombudsman meminta pemerintah melakukan penguatan sistem dengan otomatisasi penitikan koordinat tujuannya agar tidak ada pemalsuan KK lagi. Kedua, pemerintah diminta melakukan pemantauan intens terhadap pemetaan wilayah zonasi di tahap pra-PPDB tujuannya agar siswa di titik blankspot ini mendapat sekolah yang sama.
“Teknologi udah ada bagaimana menghubungkan data KK dengan peta ini yang belum dilakukan banyak daerah,” katanya. (akn/***)